Aparecium

Month: June, 2014

Menengadah Dalam Wadah

Selamat malam. Maaf jika terlalu malam. Tapi entah kenapa suara sendu Norah Jones malam ini menghantarkanku pada laman kosong yang meronta minta diisi ini.

Malam tadi baru saja aku pergi dengan beberapa kawan, melakukan ritual anak metropolitan di dalam ruangan yang pengap dan gelap sambil berteriak-teriak bak Janis Joplin, iya semalam tadi baru saja karokean. Agak canggung rasanya setelah beberapa lama tidak melakukan kegiatan foya-foya satu itu. Sejujurnya walaupun dalam rangka melapas penat atau apapun, melakukan kegiatan-kegiatan semacam itu pada saat-saat seperti ini buatku sangatlah memalukan. Mengingat banyaknya tugas yang harus diselesaikan baik dalam segi akademis maupun organisasi. Organisasi?

Harus aku terangkan bahwa terhitung Maret 2014 kemarin status sosialku bertambah menjadi Bekel Wacana dalam struktur kepengurusan Teater SiAnak Fisip Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Bekel Wacana sendiri merupakan salah satu divisi yang mengurus segala rupa perihal kewacanaan, baik mengenai teater maupun hal-hal umum. Tugas yang sulit? Tidak Tahu.

Kenapa bisa aku menjawab seringan itu hanya dengan tidak tahu? Karena memang banyak yang seharusnya sudah dirangkai namun belum juga terlontar, banyak yang harusnya sudah indah namun belum juga diberi warna. Banyak yang tersendat, banyak yang tercekat, banyak pula yang tersesat. Perlu juga aku terangkan lebih jauh betapa aku mencintai wadah ekspresi yang katanya isinya ‘seniman melulu’ ini. Entah kenapa cinta, entah kenapa begitu kujaga. Bahkan statusku yang utama sebagai mahasiswa terkadang kerap aku abaikan tanggung jawabnya. Merasa bersalah iya? Pada banyak pihak, orang tua kemudian diri sendiri dan lalu mimpi yang telah tergantung tinggi-tinggi.

Perihal hal ini, ini sekali aku berteriak, menempel surat kaleng, melakukan teror dan hal-hal vulgar lainnya agar semua individu yang sewadah denganku bangun, bangun dan berhenti menengadah. Apa yang hebat dari canda tawa ketika banyak yang terlupa? Apa yang hebat dari keluarga ketika membuat berhenti peka? Aku pun sebenarnya adalah salah satu pesakitan yang paling kritis kondisinya dalam wadahku sendiri. Aku pun seharusnya yang pertama menampar diri sendiri dengan godam angan-angan. Aku pun sesungguhnya yang tak berguna. Tapi sungguh sial, aku begitu cinta. Bisa saja aku lari jauh-jauh, bersembunyi atau mencaci. Namun apa yang telah terjadi bukan sebatas dramaturgi, apa yang dirasa telah ikut membentuk pribadi diri. Teman, kasih, saudara, keluarga, ayo kita berhenti menengadah dalam wadah karena di bawah kaki tempat kita berpijak perlu disisakan beribu-ribu jejak.

Akhir.

Berapa banyak hal telah kita banggakan, lalu seolah boomerang hal-hal itu menusuk rusuk kita dari belakang? Berapa banyak yang kita korbankan, kita bela dan kita jaga untuk hal-hal tak tahu diri itu? Mungkin teramat banyak, hingga kita lelah kemudian tertidur, enggan lagi memikirkan atau mengingatnya.

Kenapa kita harus menangis atas sesal ketika sebuah hubungan harus berakhir, padahal jelas kita tahu bahkan kehidupan dan dunia pun pasti akan berakhir?