Terjangkit Virus dan Segala Mimpi Buruk yang Membuntutinya

I’m down with the Covid-19.

Memasuki hari keempat saya divonis positif terjangkit virus yang lebih dari dua tahun belakangan menjadi hal paling populer dalam kehidupan manusia abad ini.

Sebagai orang yang tak pernah tertarik mencari tahu perkembangan evolusi virusnya, maupun jumlah capaian korbannya–demi ketenangan jiwa sebenarnya–saya cukup terkejut bahwa pada akhirnya tubuh saya sendirilah yang mencicipi berbagai gejalanya.

Mulai dari demam tinggi yang menyebabkan saya harus langsung pulang padahal baru saja sampai di lobby kantor, rasa linu di sekujur tubuh yang cukup membuat tumbang, hingga yang masih tersisa sekarang: pilek, batuk, dan pening di kepala yang kerap datang tak tahu waktu.

Saya sendiri cukup beruntung karena dapat melakukan isoman dengan tertib dan khidmat, seorang diri, di kos-kosan yang memang sudah saya tinggali selama dua tahun belakangan.

Fakta yang lebih menjengkelkan sebenarnya adalah bahwa saya tidak tahu pasti dari mana saya terpapar virus ini. I mean, I know it’s everywhere. Tapi, pastilah harus ada setidaknya kontak dengan penderita terlebih dahulu untuk saya dapat terjangkit, bukan?

Sementara saat ini, jika keluar rumah, dunia tampak perlahan mulai membaik, mulai semakin abai dibanding dua tahun lalu ketika Jakarta di siang hari pada hari Selasa bisa terasa seperti kota mati karena begitu takutnya orang-orang berada di luar rumah.

Sejak merebak di awal tahun 2020, agaknya saya selalu berada di tengah-tengah spektrum. Saya bukan si paranoid yang begitu ketakutan dan menjadi kelewat protektif demi membentengi diri dari virus ini, bukan pula saya si non-believer yang menganggap ini semua tak lebih dari sekadar agenda setting segelintir kalangan semata. Saya percaya pandemi semacam ini mungkin terjadi, virusnya pun nyata dan kita bisa terjangkit sehingga harus berhati-hati.

Terlebih, saya percaya pandemi nyata setelah saya kehilangan Papa tercinta karena virus ini pula.

Ah, mengingat kepergian Papa saya akan selalu menjadi hal paling menyakitkan di usia jelang 30 saya ini. Mungkin akan menjadi hal paling menyakitkan seumur hidup saya.

Namun, terjangkit virus ini, saya tak bisa tidak memikirkan apa yang dirasakan Papa saya tujuh bulan silam. Ketika varian virus ini masih disebut ‘ganas’ oleh banyak orang, yang saya pun sebenarnya tak begitu paham bedanya.

Saya tak sanggup membayangkan rasa sakit dan sesak yang beliau derita hingga akhirnya menyerah dan menghembuskan nafas terakhir tanpa satu pun keluarga dan anak-anaknya berada di sisinya.

Ketika Papa meninggal, saya dan adik kandung saya, kami menyaksikan seluruh prosesi yang diperlukan untuk mempersiapkan jenazah. Di rumah sakit, kami melihat Papa kami dimandikan, dikafani, dimasukkan ke peti, hingga disolati.

Namun, tak satu detik pun kami punya kesempatan untuk memegang tangan, memeluk, mencium jenazah Papa kami. Kami terpaksa hanya mengandalkan penglihatan kami dan berusaha merekam sebanyak mungkin yang tersisa dari perjalanan akhir Papa kami yang malang.

Seperih itulah virus ini bagi saya, merubah seluruh kehidupan saya menjadi anak yatim yang tak punya tuan. Papa saya adalah sosok yang begitu kuat dalam hidup saya, dalam hidup kami, kehilangan beliau adalah kehilangan kompas kehidupan yang telah begitu lama menuntun kami.

Bisa dibilang, virus ini sudah jauh menjangkiti hidup, mental dan masa depan saya, lebih dulu sebelum menjangkiti tubuh saya.

Peluk hangat saya bagi seluruh anak, orang tua, sahabat, dan pasangan yang ditinggalkan karena virus yang sama. Things are going to be better soon, just, carry on.